Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., PsikologPerkembangan 6 tahun pertama dalam kehidupan anak adalah yang paling penting, karena di 6 tahun pertama kehidupannya, otak berkembang secara pesat. Perkembangan tersebut didukung oleh bagaimana stimulus yang didapat dari lingkungannya dan dukungan dari orang tua. Area perkembangan anak ada 4 aspek, yaitu: 1. Kognisi Yaitu bagaimana anak berpikir, kemampuan memecahkan masalah, daya ingat, memahami sebab akibat, berpikir kritis, kreatifitas, berpikir logis, dan kemampuan menganalisa. 2. Motorik Yaitu mengenai otot-otot pada tubuh anak. Terdapat 2 jenis: a. Motorik kasar Kemampuan otot-otot besarnya, seperti tengkurap, berguling, duduk, berdiri, berjalan, berlari, melompat, jinjit, berdiri dengan 1 kaki, menendang bola, lempar tangkap bola, mengayuh sepeda, merangkak. b. Motorik halus Kemampuan otot-otot kecilnya, seperti menggerakkan jari-jari tangan, meronce, mengambil manik-manik dengan 2/3 jari, menggenggam pensil, memetik sayuran, menggunting, bermain jepitan jemuran, menggunakan pipet. 3. Sosial Yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungannya atau dengan makhluk lain (manusia/hewan/tumbuhan), kemampuan beradaptasi, kemampuan berkomunikasi. 4. Emosi Yaitu bagaimana anak mengenali emosinya dan mampu mengekspresikannya secara tepat. Perkembangan kognisi menurut Jean Piaget, salah satu tokoh di Psikologi: - TAHAP SENSORIMOTOR (0 – 2 Tahun) - TAHAP PRA-OPERASIONAL (2 – 7 Tahun) - TAHAP OPERASIONAL KONKRET (7 – 11 Tahun) - TAHAP OPERASIONAL FORMAL (11 Tahun – Dewasa) Kemajuan kognisi saat Pra-Operasional Konkret (2 – 7 tahun) Dalam proses kognisi, pemahaman sebab akibat suatu hal mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah akan sempurna jika aspek-aspeknya terpenuhi, yaitu daya ingat (memori), kreativitas, atensi atau kemampuan konsentrasi, dan daya tangkap kecepatan memproses suatu informasi.
Pada anak usia dini, kemampuan-kemampuan tersebut perlu dilatih dengan bantuan dari orang tua dan lingkungannya. Bantulah anak untuk mengasah kemampuan-kemampuan tersebut, dengan cara: 1. Melatih empati anak 2. Melatih berpikir kritis 3. Melatih menyelesaikan masalah dengan berbicara 4. Melatih mengidentifikasi masalah 5. Melatih anak untuk berani bertanggung jawab (orang tua tidak ikut campur) Salah satu cara melatih kemampuan memecahkan masalah adalah dengan bermain. Jangan sepelekan proses bermain, karena di dalam proses bermain banyak hal yang dipelajari oleh anak. Beberapa contoh permainan anak yaitu: Ø Usia 1 – 3 tahun Cilukba, petak umpet, sorting bentuk, sorting warna, puzzle bentuk geometri, puzzle gambar hewan, bermain susun balok. Ø Usia 3 – 5 tahun Mengklasifikasikan benda besar-kecil/berat-ringan, tebak gambar/tebak suara, baca buku dan story telling, mengenalkan konsep angka 1-10, mengenalkan huruf, bermain sensory play, melatih kemampuan bina dirinya (makan, minum, mandi, membersihkan diri setelah BAK/BAB). Ø Usia 5 – 7 tahun Latihan motorik halus, bermain music, olahraga, berpartisipasi dalam lomba, bermain pura-pura, puzzle, bersepeda. Referensi: Papalia, D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (Perkembangan Manusia) (edisi ke 10 Buku 2). Jakarta: Salemba. Santrock, John W. 2012. Life-span Development. 13 th Edition. University of Texas, Dallas : Mc Graw-Hill
0 Comments
Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., PsikologPerubahan abad 21 yang mempengaruhi segala aspek kehidupan, maka diperlukan kemampuan dalam menghadapinya. Menurut ATC21S (Assessment and Teaching 21st Century Skill) yang terdiri dari 250 peneliti dari berbagai Negara, mengelompokkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh individu di abad 21 menjadi 4 kategori, yaitu: · Cara berpikir: kreativitas, berpikir kritis, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan pengambilan keputusan, dan belajar. · Cara kerja: adanya komunikasi dan kolaborasi. · Alat untuk bekerja: teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dan literasi informasi. · Keterampilan untuk hidup di dunia: kewarganegaraan, kehidupan dan karir, dan tanggung jawab pribadi serta sosial. Abad 21 mengisyaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis. Untuk mewujudkan kemampuan-kemampuan tersebut pada diri anak dan remaja, tidak lepas dari beberapa teori perkembangan yang mendasari pembentukan pribadi anak saat dewasa. Tahap perkembangan saat anak-anak sangat penting diperhatikan karena tahapan tersebut lah yang mendasari seluruh kemampuan lebih kompleks yang akan dimiliki anak nantinya. John J. Macionis (1996) mengemukakan ada lima cara dalam pembentukan perilaku yang mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu: 1. Teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939) 2. Teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980) - Tahap Sensorimotor - Tahap Praoperasional - Tahap Operasional Konkrit - Tahap Operasional Formal 3. Teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981) Tingkat 1 (Pra-Konvensional) 1) Orientasi kepatuhan dan hukuman 2) Orientasi minat pribadi (Apa untungnya buat saya?) Tingkat 2 (Konvensional) 3) Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik) 4) Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan) Tingkat 3 (Pasca-Konvensional) 5) Orientasi kontrak sosial 6) Prinsip etika universal (Principled conscience) 4. Teori Gender dari Carol Gilligan (1982) 5. Teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931) Saat ini di bidang pendidikan sedang digencarkan program pendidikan karakter. Pendidikan karakter juga mencakup kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap anak. Secara konseptual pendidikan karakter telah disusun dan dimulai untuk diterapkan di sekolah. Terdapat 18 nilai karakter yang perlu diimplementasi di sekolah, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Puskur. 2009). Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. Tinjauan karakter secara psikologis: merupakan perwujudan dari potensi Intelligency Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki seseorang. Penelitian dan telaah dampak pendidikan karakter pada prestasi akademik telah banyak dilakukan. Salah satu diantaranya dilakukan Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa ada peningkatan motivasi untuk meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang menerapkan pendidikan karakter secara komprehensif menunjukan adanya penurunan secara drastis perilaku negatif yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depannya. Dengan emosi yang cerdas, seseorang memiliki peluang besar berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan secara akademis. Hasil kompilasi penelitian Zins (2001) juga menunjukkan, bahwa ada pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dari sederetan faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah, ternyata kegagalan itu bukan terletak pada kecerdasan otak, melainkan pada faktor karakter, seperti rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi yang bermasalah. Hasil tersebut juga sejalan pendapat telaah Goleman, bahwa keberhasilan hidup seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak/remaja yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Sebaliknya, anak-anak dan remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi baik akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja, seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Dasar pendidikan karakter adalah keluarga. Namun, pendidikan karakter di sekolah juga sangat diperlukan. Sebab, secara faktual kebanyakan orang tua lebih mengutamakan kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Sebagaimana dinyatakan Goleman, bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun, ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Permasalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan karakter menjadi masalah yang mengemuka. Antisipasi yang harus dilakukan oleh lingkungan anak dan remaja dalam menghadapi perubahan yang terjadi Telah diuraikan perubahan-perubahan yang terjadi pada abad 21 dan kemampuan yang harus dimiliki oleh anak serta remaja dalam menghadapinya. Oleh karena itu, diperlukan beberapa antisipasi dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi individu dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan pada abad 21 adalah lingkungan terutama keluarga. Keluarga khususnya orang tua mempunyai peran penting dalam membentuk kepribadian anak nantinya. Hal ini bisa diantisipasi dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tua untuk anak-anak mereka. Maka diharapkan orang tua abad 21 adalah orang tua yang open minded, mau menerapkan pola asuh yang ideal (tidak menggunakan pola asuh dulu yang diterapkan orang tuanya pada dirinya, lalu diterapkan kepada anaknya) serta berwawasan luas dan melek teknologi. Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu: 1. Diri sendiri. Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon sosial. 2. Lingkungan 3. Situasi krisis dalam pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang dirasakan secara langsung, akan lebih dihayati oleh individu. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman. John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan sosialisasi adalah keluarga, sekolah, kelompok sebaya, media massa, dan opini publik. Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia. Referensi:
Feldman, Papalia Olds. 2009. Human Development Perkembangan Manusia. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta. Santosa, Elizabeth T. 2015. Raising Children In Digital Era. Penerbit Gramedia. Jakarta. Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., PsikologPerubahan-perubahan pada masa kini yang berbeda dengan masa sebelumnya yang dihadapi oleh anak dan remaja Anak-anak dan remaja saat ini sedang hidup di abad 21 yang memiliki corak berbeda dengan kehidupan abad-abad sebelumnya. Abad ini ditandai oleh perubahan yang berjalan sangat cepat, kompleks, sulit diprediksi dan kompetitif. Dari sisi pemikiran, pada abad ini terjadi pergeseran paradigma ”knowledge is power menuju idea is power”. Oleh karena itu, abad ini membutuhkan kecakapan individu (soft competence) yang dapat digunakan anak-anak dan remaja merespon tuntutan perubahan yang cepat itu dengan segala kompleksitas persoalannya. Perubahan-perubahan terjadi dalam beberapa bidang diantaranya: Teknologi Dalam bidang teknologi, kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan masyarakat dan gaya hidup. Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah tertentu, misalnya di Indonesia peristiwa yang terjadi di Yogjakarta, akan lama sekali beritanya sampai di Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan menentukan pandangan serta gaya hidup. Perubahan teknologi dengan bermunculannya berbagai macam gadget, juga mempengaruhi gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini. Sebelum abad 21, pemilik gadget hanya orang-orang yang berstatus ekonomi atas. Sedangkan saat ini semua jenis status ekonomi yaitu menengah keatas dan menengah ke bawah dapat memiliki berbagai macam gadget. Hal ini sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat saat ini. Tidak heran muncul istilah “gadget mendekatkan orang yang jauh dan menjauhkan orang yang dekat”, artinya adalah orang bermain gadget berinteraksi dengan orang lain di dunia maya yang berada di segala penjuru dunia tetapi malah tidak memperhatikan atau tidak berkomunikasi dengan orang yang berada di sebelahnya. Budaya Budaya instan juga muncul karena kemajuan teknologi. Teknologi saat ini yang mempunyai kecepatan super cepat, dapat memperoleh informasi dengan kecepatan seper sekian detik, banyak alat-alat yang mempermudah orang dalam berkegiatan, hal ini semua mempengaruhi daya juang masyarakat saat ini. Masyarakat sebelum abad 21 membutuhkan usaha yang lebih dalam memperoleh sesuatu karena keterbatasan teknologi saat itu. Sedangkan anak-anak dan remaja saat ini telah dimanjakan berbagai teknologi yang membuat mereka kurang memahami arti dari sebuah usaha dan kerja keras dalam memperoleh sesuatu. Masyarakat saat ini hanya melihat hasil, kurang dalam melihat proses dari sesuatu. Padahal yang terpenting adalah proses itu sendiri. Dalam proses tersebut banyak pengalaman yang dapat diperoleh untuk kematangan mental tiap orang. Gaya hidup Terjadi globalisasi pada abad 21, gaya hidup pun tidak bisa menghindar atau mengelak dari pengaruhnya. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label ‘modern’ diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori, dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh. Munculnya kafe, club malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan. Nilai (value) Nilai-nilai (value) juga terpengaruhi karena manusia tak lepas dari lingkungannya. Kecenderungan mengikuti gaya hidup yang baru, yang "trendy" dan menempatkan nilai-nilai baru dalam ukuran keberhasilan telah merusak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang sebelumnya dipegang teguh dan diyakini sebagai kebenaran. Nilai yang mementingkan kebersamaan dan menumbuhkan sikap gotong royong diganti oleh nilai individualistis. Nilai yang meletakkan unsur spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau bersaing dan memenangkan persaingan, tidak peduli apapun caranya dan siapapun yang dihadapi. Kehidupan keluarga Kehidupan dalam keluarga juga ikut terpengaruh pada abad 21 ini. Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan munculnya ibu yang berkegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi 24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Jika ibu sibuk bekerja di luar rumah, dapat dibayangkan perkembangan dan keadaan anak di rumah yang seharusnya ditemani oleh ibu sebagai pendidik utama. Pengganti ibu adalah ayah, sedangkan ayah juga sibuk bekerja di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad 21. Padahal kehadiran itu sangat diperlukan anak, tidak peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa. Mencari pengganti ibu di rumah merupakan masalah yang mewarnai abad 21. Tidak mudah memperoleh pengasuh anak. Hampir tidak ada lagi pengasuh anak dalam keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah berubah menjadi transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan memakai jasa. Selain itu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menitipkan anak di Tempat Penitipan Anak (TPA). Pendidikan Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Dengan kondisi saat ini sangat mudah untuk mendapat segala macam informasi dan ilmu pengetahuan. Diharapkan masyarakat terutama anak dan remaja dapat memanfaatkan untuk memperkaya wawasan dan keterampilan. Penguasaan berbagai bahasa juga dibutuhkan dalam abad 21 karena telah banyak peluang dalam berinteraksi antar bangsa. Referensi:
Feldman, Papalia Olds. 2009. Human Development Perkembangan Manusia. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta. Santosa, Elizabeth T. 2015. Raising Children In Digital Era. Penerbit Gramedia. Jakarta. Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog “Kenapa anakku gak bisa diam ya? Kok gerak terus.”
Siapa yang pernah mengalami hal ini? Mayoritas orang tua mengalami dan mengeluhkan hal tersebut. Ternyata saat anak bergerak akan ada banyak manfaat yang muncul. Yuk kita simak beberapa manfaatnya.
Cara menstimulasi kemampuan motorik kasar adalah melakukan kegiatan yang menyenangkan dan beri contoh pada anak, seperti: - Menari atau berjoget sambal diiringi lagu. - Latihan melompat dengan trampoline. - Latih anak untuk bisa mengayuh sepeda. - Bermain lempar dan tangkap bola. - Bermain sepak bola. - Berjalan di titian kayu. Jika anda berpikir, “lho semua itu kan sama saja dengan bermain seperti biasanya.” Ya betul sekali. Proses bermain pada anak mempunyai banyak manfaat. Bukan hanya sekedar bermain, namun segala aspek perkembangan terstimulasi. Cara bermain anak yang optimal untuk perkembangannya disesuaikan dengan usianya. Bermain sendiri memiliki tahapan-tahapannya, yaitu: - Unoccupied Play (bermain kosong) Pada bayi, misalnya mengamati tangan dan kaki. - Solitary Play (bermain sendiri) Pada usia 0 – 2 tahun. - Onlooker Play (pengamat) Mengamati lingkungan, masih bermain sendiri. - Parallel Play Dalam satu kelompok tetapi bermain sendiri. Usia 3 – 4 tahun. - Associative Play Bermain bersama tanpa tujuan. Usia 4 – 5 tahun. - Cooperative Play Bermain bersama, ada tujuan, kerjasama, ada aturan. Usia sekolah. Bermain bagi anak merupakan sebuah proses belajar paling efektif untuk mendapatkan stimulasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat bermain bersama dengan anak, yaitu: 1. Berikan instruksi cara bermain serta peraturan dalam setiap permainan dengan jelas. Dilanjutkan dengan memberikan contoh cara memainkannya. 2. Tidak menginterupsi. Bebaskan anak bermain, asal tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Fokus pada proses, bukan hasil. Anak cenderung tidak memikirkan hasil akhir, melainkan lebih menikmati proses yang ia kerjakan. Bonusnya anak semakin percaya diri. 3. Beri kesempatan kepada anak untuk mengulang aktivitasnya. Kesempatan untuk mengeksplorasi, mengobservasi, dan trial eror dengan eksperimennya. 4. Memuji hasil karyanya, sesederhana apapun itu. Dengan membuat anak merasa bangga dapat mendorongnya untuk terus bereksplorasi dan mengembangkan imajinasinya. Supaya kemampuan anak bisa berkembangan secara maksimal, butuh dukungan dari lingkungan dimana anak berada. Siapa sajakah itu? Orang tua, Pengasuh, Kakek nenek, Kakak atau adik, dan Guru di sekolah. Jika ada kerjasama tim dalam mengasuh anak, pengasuhan akan terasa mudah. Juga dibarengi dengan pemahaman tentang pola pengasuhan yang tepat bagi anak. Tips: Saat orang tua merasa anak banyak bergerak atau tidak bisa diam, cek terlebih dahulu apakah anak yang gerak terus atau orang tua yang sedang capek. Referensi: Papalia, D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (Perkembangan Manusia) (edisi ke 10 Buku 2). Jakarta: Salemba. Santrock, John W. 2012. Life-span Development. 13 th Edition. University of Texas, Dallas : Mc Graw-Hill Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog Sebagai orang tua, pasti kita ingin hubungan kita dengan anak terjalin dengan baik dan harmonis. Untuk mewujudkan itu, kita harus memahami pikiran, perilaku dan perasaan anak. Bagaimana caranya supaya bisa memahami pikiran, perilaku, dan perasaan anak? KONEKSI. Kita harus terkoneksi atau terhubung dengan anak kita. Koneksi ini tidak bisa tiba-tiba muncul atau terhubung begitu saja. Perlu konsistensi dan dilatih terus menerus supaya orang tua terkoneksi erat dengan anak. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam membangun koneksi: 1. Menolak konsep pikiran negatif Khawatir apa yang akan terjadi di masa depan, mengungkit kejadian yang lalu. Harus lihat apa yang terjadi saat ini. Serta menghindari penolakan tentang latar belakang penyebab perilaku, perasaan, dan pikiran anak saat ini. 2. Chase the why Cari tahu akar permasalahan atau alasan dibalik perilaku, perasaan, dan pikiran anak. 3. Think about the how Bereaksi positif dalam menghadapi perilaku, perasaan, dan pikiran anak. Saat membangun koneksi dengan anak, orang tua juga harus selalu mengingat 3 prinsip disiplin yang positif, yaitu: 1. Disiplin adalah mengajarkan. Lalu ada pertanyaan: - WHY? Kenapa anakku bertindak seperti ini? - WHAT? Pelajaran apa yang akan aku ajarkan padanya? - How? Bagaimana aku dapat mengajarkan hal itu? 2. Prinsip - Tunggu sampai anak siap dan anda juga. - Konsisten dan tidak kaku pada situasi yang terjadi. ![]() 3. Mindsight - Insight: bantu anak memahami perasaan mereka dan respon mereka. - Empathy: latih anak memahami perasaan orang lain dari dampak perilakunya. - Repair: tanya kepada anak, apa yang dapat dia lakukan untuk memperbaiki perilakunya. Setelah mengetahui dasarnya, terkadang orang tua masih bingung. Bagaimana cara konkritnya supaya koneksi dengan anak bisa terbentuk? Apakah Tindakan yang harus dilakukan? Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan rumus REDIRECT ACTION. RUMUS REDIRECT 1. REDUCE WORDS (Mengurangi Kata-kata) Untuk menghadapi masa anak dan remaja, hindari godaan berbicara terlalu banyak ketika menerapkan proses disiplin atau Ketika anak berperilaku tidak sesuai dengan keinginan kita. Cobalah bertanya kepada anak dan dengarkanlah alasan dari perbuatannya. Diskusi kolaborasi antara orang tua dan anak dapat menggiring pada proses belajar dan mengajar yang penting. Tanpa membanjiri anak dengan “omelan”. Sebagai gantinya daripada “omelan”, bisa dicoba car aini untuk mengatasi perilaku buruk pada anak: ![]() Langkah 1: Atasi perasaan dibalik perilaku Langkah 2: Atasi perilakunya Langkah 3: Beri alternatif Langkah 4: Move on! 2. EMBRACE EMOTIONS (Memahami Emosi Anak)
Menolong anak memahami perasaannya: - Dengarkan dengan penuh perhatian saat anak mengajak berbicara. Hentikan dulu kegiatan yang kita lakukan. Serta melakukan kontak mata dengan anak, sehingga anak merasa didengarkan oleh kita. - Akui perasaan mereka dengan memberikan respon singkat. Misalnya: saat anak bercerita pengalamannya di sekolah, beri tanggapan “Wah gitu ya”, “Bagus”, “Oke”. - Beri nama pada perasaan mereka. “Kamu merasa sedih yak arena bukumu hilang”, “Kamu senang ya akan bertemu temaan-teman”. 3. DESCRIBE (Menjelaskan seperlunya, bukan Ceramah) - Hindari sikap otoritas dan menuntut. - Hindari menyerang anak dengan menyalahkannya. - Jelaskan kejadian yang terjadi pada saat itu. 4. INVOLVE CHILD IN THE DISCIPLINE (Melibatkan Anak) - Libatkan anak dalam proses disiplin karena anak akan merasa dihargai. (“Seminggu ini kamu tiap hari di depan komputer atau hp. Itu kurang cocok buatmu. Yok kita bikin rencana!”) - Biarkan anak membuat keputusan. (“Hari ini kamu pengen pakai baju warna apa? Pink atau biru sayang?”) - Hargai atas perjuangan anak. (“Toples itu emang susah dibuka ya.. Coba kamu tarik pinggir tutupnya pakai sendok.”) 5. REFRAME a NO INTO a CONDITIONAL YES (Membingkai kata TIDAK dengan YA BERSYARAT) Misalnya saat anak masih ingin bermain dengan temannya namun sudah waktunya pulang, bisa mengatakan “Kamu masih bisa bermain dengan teman-temanmu, bagaimana kalua dilanjutkan akhir minggu ini?”. 6. EMPHASIZE THE POSITIVE (Memberikan Respon yang Positif) - Fokus pada perilaku anak yang anda ingin mereka mengulanginya lagi. - Biarkan mereka tahu bahwa anda mengamati dan menghargai ketika mereka berperilaku baik. 7. CREATIVELY APPROACH THE SITUATION (Kreatif Menciptakan Suasana Ceria) Orang tua dan anak menjadi fleksibel. Misalnya saat anak tidak mau memakai baju, “Wah ini ada gua, guanya kecil, kepala adik bisa masuk tidak ya? Yuk dicoba.” 8. TEACH MINDSIGHT TOOLS Referensi: Faber, Adele & Mazlish, Elaine. 1982. How to talk so kids will listen and listen so kids will talk. New York: Wade Publisher. Siegel, D. J. & Bryson, T. P. (2014). “No – Drama Discipline: The Whole – Brain Way to Calm the Chaos and Nurture your Child’s Developing Mind”. New York: Penguin Random House Company. Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog Sebelumnya kita mendiskusikan tentang definisi disiplin sebagai kegiatan mengajar, bukan menghukum. Jadi kalau mengajar harus selalu ingat tujuan mengajar itu sendiri, apa yang mau diajarkannya? Selalu seimbangkan tujuan disiplin jangka pendek dan jangka panjang. Sekarang kita masuk materi baru yaitu memahami bagaimana anak berpikir dan merasa. Mengapa harus memahami pikiran dan perasaan anak? Umpamanya kita pakai hp, kita harus mengerti cara bekerjanya hp itu. Jika pencet ini jadi begini, kalo pencet begitu jadi begitu. Sama dengan anak, kalau kita tidak mengerti bagaimana anak berpikir dan merasa, kita sulit mengajarkan sesuatu, karena kita tidah tahu harus pencet tombol yang mana. Jangan sampai asal-asalan. Jika “ngasal” tentu saja disiplinnya jadi tidak efektif. Kembali pada konsep disiplin yang diterapkan harus punya sense of direction and purpose, atau arah dan tujuan jangka panjang. Saya mulai dengan bagaimana anak berpikir. Sebenarnya bukan anak saja, namun kita semua berpikir menggunakan otak yang secara garis besar punya anatomi yang sama. Ini gambar otak kita. Bagian-bagian otak kita secara vertikal ada 3 bagian besar, yaitu bagian reptile, mammal, dan rational. Bagian reptile untuk mengatur survival atau bertahan hidup. Salah satu bagian dari survival adalah rasa takut, yang melindungi kita dari bahaya-bahaya. Bagian mamalia mengatur emosi seperti marah, takut, senang, sedih, cemas, jijik, dan emosi lainnya. Otak anak ibaratnya adalah rumah yang sedang dibangun. Saat membuat rumah, kita pasti membuatnya dari bawah, membuat pondasinya dulu, lanjut dinding, dan terakhir atas. Sama juga dengan otak anak, dia berkembang otak bawah yaitu otak reactive, dibangun ke atas yaitu otak atas atau otak receptive. Otak reactive adalah yang melindungi kita dari bahaya-bahaya. Bagian mamalia mengatur emosi seperti marah, takut, senang, sedih, cemas, jijik, kagum, dan lainnya. Sedangkan otak receptive otak yang mengatur kita berpikir, memutuskan suatu hal, menyelesaikan masalah, memahami orang lain. Disiplin yang positif adalah cara mengajarkan anak untuk mengembangkan otak rationalnya, melatih dia untuk berpikir. Tugas orang tua utamanya adalah mengembangkan otak rasional ini. Otak reactive juga perlu dikembangkan untuk meregulasi emosi, bagaimana anak bisa mengekspresikan emosinya dengan tepat dan sesuai dengan situasi. Keadaan otak anak:
- Mengontrol emosi yang tinggi dan mengekspresikan dengann cara yang tepat - Memahami hal-hal baru - Menjadi fleksibel dan beradaptasi - Berempati dan memahami orang lain - Menyusun rencana - Menyelesaikan masalah Ada 2 tombol di otak kita: 1. Tombol OTAK ATAS atau tombol OTAK RECEPTIVE Jika memencet tombol ini, orang tua mampu memahami pikiran dan perasaan anak, orang tua mampu mengendalikan emosi diri sendiri, dan mampu menyelesaikan masalah dengan anak secara baik-baik. 2. Tombol OTAK BAWAH DAN TENGAH atau tombol OTAK REACTIVE Jika memencet tombol ini, orang tua cenderung tampak kurang mampu memahami pikiran dan perasaan anak, mendahulukan emosi, dan berakhir membentak atau memarahi anak.
Cara disiplin yang positif membangun otak anak, yaitu: - Beri pertanyaan untuk memahami diri. Hasilnya anak menjadi lebih insightful. - Dorong anak berempati pada orang lain. Hasilnya anak menjadi lebih empathic. - Beri anak kesempatan untuk memutuskan bagaimana seharusnya berperilaku, daripada hanya memberi saran. Hasilnya anak menjadi decision maker yang baik. Hal utama yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan disiplin positif dan membangun otak anak adalah membangun KONEKSI. Koneksi itu apa sih? Contohnya seperti jaman sekarang, ada wifi? Password nya apa? Meskipun kita berada di area wifi, masih perlu password kan untuk terhubung? Sama dengan anak juga. Meskipun kita duduk di sebelah dia, belum tentu kita terhubung atau terkoneksi dengan dia. Sebenarnya perlu usaha dari kita untuk konek, ya itu pencet passwordnya. Passwordnya apa sih? Komunikasi 2 arah, contoh sikap komunikasi 2 arah, yaitu: - Same level / ortu lebih rendah - Tidak pointing - Tidak berkacak pinggang - Tidak melotot - Tidak teriak2 / nada suara tinggi - Ekspresi wajah tenang Referensi: Faber, Adele & Mazlish, Elaine. 1982. How to talk so kids will listen and listen so kids will talk. New York: Wade Publisher. Siegel, D. J. & Bryson, T. P. (2014). “No – Drama Discipline: The Whole – Brain Way to Calm the Chaos and Nurture your Child’s Developing Mind”. New York: Penguin Random House Company. https://www.savethechildren.org.au/__data/assets/pdf_file/0003/5457/PositiveDiscipline.pdf Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog Kejadian yang biasanya terjadi pada orang tua dan anak yaitu terjadi drama. Seorang ibu mengatakan, “Saya sudah diberitahu bahwa tidak boleh memukul atau berteriak, tapi selanjutnya saya tidak tahu apa yang harus dilakukan selain memberi ancaman konsekuensi dan memberinya time-out.” Atau situasi antara suami istri kurang kompak, biasanya yang terjadi adalah ketidak konsistenan. Istrinya mengeluh bahwa suaminya terlalu keras dan kaku, sedangkan dirinya tidak. Seorang ayah juga mengatakan, “Saya sudah muak dengan pertarungan PR ini. Kami selalu bertengkar dan tidak ada sesuatu yang berubah.”
Apakah anda semua juga mengalami seperti contoh-contoh tadi? Dalam kenyataan, anda adalah manusia dan sedang menjadi orang tua dari anak-anak anda. Memang sulit sekali dalam proses mendisiplinkan anak. Situasi yang sering terjadi adalah anak-anak melakukan atau menunjukkan perilaku yang seharusnya tidak dilakukan. Kita sebagai orang tua marah dan anak akan “ngambek”, keluarlah banjir air mata. Inilah contoh dari drama disiplin. Drama sekali bukan? Seperti menonton sinetron di televisi. Melelahkan, menyebalkan. Kejadian dalam drama: berteriak, merasa bersalah, perasaan sakit, pusing, dan lainnya. Apakah anda pernah bertanya pada diri sendiri, terutama setelah kejadian semua drama itu terjadi. “Bisa gak ya aku bertindak lebih baik dari ini? Bisa gak ya aku mengatasi anakku dengan lebih baik dan menjadi orang tua yang lebih efektif? Apa bisa aku menerapkan disiplin dengan situasi yang tenang dan nyaman serta tidak harus menimbulkan kekacauan?” Jawabannya adalah... “Anda BISA!!!”. Anda sangat bisa menerapkan disiplin dengan penuh penghargaan dan pola asuh yang baik dengan tetap ada batasan dan dilakukan dengan konsisten. Dengan kata lain, anda bisa menerapkan disiplin tanpa adanya drama seperti contoh tadi dan tanpa konflik. Anda juga bisa sambil mengembangkan kemampuan-kemampuan anak dalam membangun hubungan yang baik dengan orang lain, bisa membuat keputusan, memikirkan keadaan orang lain atau menghormati orang lain, dan yang jelas akan berdampak panjang di kehidupannya nanti. Apakah disiplin itu? Sekarang ini kita mengenal kata disiplin dari bahasa inggris discipline yang artinya mengajarkan. Awal abad ke 11, kata discipline ini berasal dari bahasa latin disciple yang artinya murid, siswa, pelajar, lalu berkembang menjadi kata disciplina artinya mengajarkan, belajar, dan memberi instruksi. Kemudian berkembanglah dalam bahasa inggris. Disiplin itu artinya mengajarkan. Mendisiplinkan anak berarti mengajari anak. Lalu apakah itu disiplin yang positif? Disiplin yang positif adalah cara mengasuh anak yang menekankan:
Tujuan disiplin bisa dibagi menjadi 2 yaitu tujuan disiplin jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan disiplin jangka pendek meliputi perilaku-perilaku yang ingin dicapai SEKARANG, misalnya kita sebagai ibu ingin anak menggosok gigi sebelum tidur, membereskan mainan sesudah bermain, dan sebagainya. Kalau bahasanya ibu-ibu itu mendeskripsikan tujuan jangka pendek ini misalnya pengen anaknya “nurut”, “kalau disuruh langsung ngerjain”. Tujuan disiplin 1 lagi yaitu tujuan disiplin jangka panjang yang merupakan PROSES, namanya proses jadi jauh lebih bertahap, membutuhkan waktu bertahun-tahun. Contoh tujuan jangka panjang adalah hal-hal seperti kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan lainnya. Bahkan saat figure otoritas (orang tua sedang tidak berada di sekitarnya. Inti dari disiplin yang positif adalah tentang keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan panjang. Mengasuh seorang anak merupakan tugas yang berat bagi orang tua manapun. Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan mudah seperti mandi, menggosok gigi, makan, tidur, dan sebagainya, saat dilakukan dengan anak dapat menjadi sulit, bahkan bisa menjadi medan perang bagi orang tua dan anak. Apabila orang tua terlalu terfokus pada tujuan disiplin jangka pendek. Tujuan jangka pendek contohnya, membuat anak cepat menyelesaikan makannya, mandi, membuat PR, dan lainnya. Hal ini dapat dimengerti, karena apabila ada suatu tugas yang harus segera diselesaikan, atau apabila orang tua terburu-buru, orang tua dapat menjadi frustrasi apabila anak tidak kooperatif. Pada saat itu, orang tua dapat menjadi emosional, dan bereaksi dengan cara-cara seperti memukul, mengancam, memarahi, mengambil barang kesukaan anak, mengurung anak, dan hukuman lainnya, apabila orang tua terfokus untuk mendapatkan reaksi yang mereka inginkan. Apabila tujuan jangka pendek sudah tercapai, misalnya anak menurut untuk melakukan sesuatu, namun melalui pukulan atau hukuman lainnya, apa yang anak pelajari? Apakah membentak memberikan contoh yang baik tentang bagaimana caranya memperlakukan orang lain? Apabila orang tua memukul, apakah orang tua mengajarkan problem – solving skills yang positif? Apakah orang tua sudah mencontohkan cara mengatasi stress dan kemarahan secara positif? Frustrasi yang dialami orang tua seringkali tidak bisa dihindarkan. Namun orang tua harus menemukan cara untuk mencapai tujuan jangka pendek mereka tanpa mengkompromikan tujuan jangka panjangnya. Referensi: Faber, Adele & Mazlish, Elaine. 1982. How to talk so kids will listen and listen so kids will talk. New York: Wade Publisher. Siegel, D. J. & Bryson, T. P. (2014). “No – Drama Discipline: The Whole – Brain Way to Calm the Chaos and Nurture your Child’s Developing Mind”. New York: Penguin Random House Company. https://www.savethechildren.org.au/__data/assets/pdf_file/0003/5457/PositiveDiscipline.pdf Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog Emosi itu banyak namanya/jenisnya. Setiap hari pasti kita merasakan emosi. Bisa emosi positif atau emosi negatif. Kita harus bisa mengenali emosi yang sedang dirasakan. Untuk apa? Supaya kita bisa mengatasinya, menyalurkannya dengan tepat, dan bisa berempati dengan emosi anak atau orang lain. Emosi adalah perasaan yang kita rasakan mengenai suatu kejadian atau suatu hal. Terkadang tidak mudah untuk memahaminya. Kita perlu tahu apa saja nama-nama emosi. Kenapa harus mengenali emosi?
- Bisa mengelola dan mengekspresikan emosi dengan tepat. - Bisa memberikan nama pada perasaan yang sedang dirasakan. - Bisa mengungkapkan perasaan kepada orang lain. - Bisa berempati dengan perasaan orang lain. Lalu setelah mengenal nama-nama emosi, apa yang harus dilakukan? Hal yang paling penting yaitu meregulasi emosi. Apa itu regulasi emosi? Regulasi emosi merupakan proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggungjawab atas monitoring, evaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi untuk mencapai suatu tujuan (Thompson, 1994). Seseorang yang mampu mengontrol emosi dan usaha tersebut sesuai dengan tujuan dan situasi maka individu dapat dikatakan memiliki regulasi emosi yang adaptif. Sebaliknya, individu yang kesulitan mengontrol emosi sesuai dengan tujuan maka disebut memiliki disregulasi emosi (Morelen, Shaffer & Suveg, 2014). Cole, Martin, dan Dennis (dalam Eisenberg & Spinrad, 2004) mengatakan bahwa regulasi emosi merupakan perubahan yang diasosisasikan dengan aktivasi emosi. Hal ini meliputi perubahan emosi itu sendiri dan proses psikologis. Individu dengan regulasi emosi dapat memilih emosi yang dirasakan, kapan dan bagaimana 8 mengalami emosi tersebut dan bagaimana mengekspresikannya. Proses regulasi emosi ini sendiri dapat terjadi secara otomatis atau terkontrol, sadar atau tidak sadar dan berdampak pada satu atau lebih hal dalam proses generalisasi emosi (Gross, 1998). Proses Regulasi Emosi, Gross (2001) menyebutkan lima tingkat proses berdasarkan model proses regulasi diri. Tahapan terjadinya regulasi emosi diri ini adalah sebagai berikut: 1. Situation selectionMerupakan tahapan dimana seseorang memilih emosi yang mungkin akan muncul pada situasi tertentu. Emosi yang dikenal ini merupakan dasar dari sikap yang akan diambil selanjutnya. Misalnya seseorang cenderung memilih pergi dengan teman yang menyenangkan semalam sebelum ujian, daripada belajar di detik-detik terakhir dengan teman yang pencemas. 2. Situation modification Pada tahap ini seseorang mengubah atau memodifikasi situasi di sekitar untuk mempengaruhi kondisi emosinya. Misalnya, ketika ada teman bertanya mengenai kesiapan untuk menghadapi ujian, ia cenderung meminta untuk membicarakan hal lain. 3. Attentional deployment Pada tahap ini seseorang banyak fokus terhadap aspek tertentu sehingga emosinya lebih terpusat. Misalnya mengalihkan perhatiannya pada hal lain sama sekali berbeda. 4. Cognitive change Seseorang mencoba mengubah cara berpikir mengenai situasi yang terjadi atau melihat situasi tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Dengan mengubah sudut pandang ini seseorang akan memiliki alternatif emosi yang lain. Misalnya, ketika makan malam bersama teman ia mengingat kembali mengenai tes di keesokan harinya. Maka ia mencoba menenangkan diri dan membuat keyakinan bahwa tes tersebut adalah hal yang biasa dan bukan merupakan instrumen untuk menilai baik buruk seorang manusia. 5. Response modulation Pada tahapan ini seseorang mengubah perasaan, sikap, perilaku dan fisiologi setelah respon multisistem sedang berlangsung. Misalnya menyembunyikan rasa malu ketika gagal dalam tes. Untuk contoh regulasi emosi lebih jelasnya, saya akan memberikan contoh cara meregulasi emosi negative untuk anak. Saat merasa cemas atau stress, yang bisa dilakukan anak adalah: - Berhitung perlahan 1.. 2.. 3.. 4.. 5.. - Manarik dan membuang napas perlahan dan dalam. - Mengepalkan tangan, lalu melepaskannya. - Meminta pelukan orang terdekat atau terkasih. - Minum air. - Menggambar. - Keluar bermain bola atau berlarian - Memukul bantal. - Mendengarkan music atau bernyanyi. - Membaca buku. - Berdiskusi dengan orang tua. Referensi: Gross, J.J. (1998). The emerging field of emotion regulation: An integrative review. Review of General Psychology, 2(3), 271-299 Gross, J.J. (2001). Emotion regulation in adulthood: Timing is everything. Current Directions in Psychological Sciences, 10(6), 214-219 Thompson, R.A. (1994). Emotion regulation: A theme in search of definition. Society for Research in Child Development, 59(2/3), 25-52 Konseling itu apa sih? Ngapain aja saat konseling? Nakutin gak sih? Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering muncul di benak anda saat mendengar kata “konseling”, apalagi kalau disuruh konseling rasanya bertemu situasi yang asing banget. Tenang aja.. konseling itu kayak curhat kok. Gak percaya? Nih lihat gambarannya.. Kita sebut orang yang lagi punya masalah itu “klien” ya. Klien datang ke Psikolog dengan berbagai masalah yang dia pikirkan dan rasakan, ibaratnya seperti benang kusut, kusut banget! Berasa dunia ini udah hitam kelam aja. Klien memutuskan datang ke Psikolog karena dia pengen dibantu menyelesaikan masalahnya yang ruwet. Saat datang ke Psikolog dengan benang kusut, klien menceritakan semua masalahnya beserta uneg-unegnya sampai ngebul kayak asap, dan mempertanyakan bagaimana cara menyelesaikannya, butuh solusi, butuh masukan. Klien bisa bercerita sesukanya dengan gaya ekspresi bebas, mau sambil ketawa boleh, sedih boleh juga, kalau nangis juga boleh kok. Sekali lagi tenang.. Psikolog terima semuanya. Apalagi semua kerahasiaan akan terjaga rapat lho. Psikolog gak cuma mendengarkan, tapi juga akan menanggapi cerita klien. Anggap aja curhat ke teman. Setelah klien menceritakan semua masalahnya yang kusut, selanjutnya tugas Psikolog membantunya. Gimana caranya Psikolog bisa bantu? Psikolog punya banyak bekal yaitu ilmu dan pengalaman mengatasi masalah-masalah klien yang bermacam-macam. Pastinya tiap klien punya masalah yang berbeda. Semua bekal yang dimiliki Psikolog bersifat ilmiah, bukan asal-asalan. Psikolog akan membantu dan membimbing klien, bersama-sama dalam menemukan solusi terbaik untuk merapikan benangnya yang kusut, menemukan jalan keluar.
Proses merapikan benang kusut itu meliputi kegiatan pendalaman masalah yang dialami klien, pencatatan oleh Psikolog, serta proses diskusi dan pengambilan langkah-langkah penyelesaian masalah. Proses konseling biasanya gak cukup 1 kali pertemuan aja, bisa 2-3 kali pertemuan, tergantung kebutuhan tiap klien. Kok lama sih? Psikolog gak akan “menyiksa” klien untuk konseling berlama-lama. Kalau klien ingin benar-benar masalahnya selesai ya harus dikupas secara mendalam dong ya. Anggap aja sambil belajar ilmu baru. Teknik konseling juga disesuaikan usia tiap klien. Psikolog akan menggunakan cara yang berbeda saat menghadapi klien anak, remaja, atau orang tuanya. Psikolog berharap setelah proses konseling selesai, klien mendapat pencerahan, benang tergulung rapi, merasa senang dari sebelumnya, dan semangat lagi dalam menjalani hidup selanjutnya. Masalah itu ibarat puzzle yang berantakan, berserakan kemana-mana, dan kita bingung untuk menyusunnya karena beberapa keterbatasan. Hal yang wajar kok kalau tiap orang punya masalah, pastinya tiap orang punya masalah dan itu harus terjadi dalam hidup. Kenapa? Jika seseorang tidak pernah mengalami masalah dalam hidupnya maka perlu dicurigai dia termasuk manusia atau bukan. Ops.. karena dengan adanya masalah, tiap orang akan terus berpikir, otaknya berfungsi baik, perasaannya terasah dengan berbagai emosi, belajar bagaimana menyelesaikan masalah, bagaimana bertindak, bagaimana memperlakukan orang lain, dan banyak lainnya. Bayangkan jika ada orang yang tidak bermasalah dalam hidupnya, dia tidak punya pengalaman sedikitpun! Pengalaman yang membuatnya bertahan hidup.
Masalah jenisnya bermacam-macam, ada yang mudah, sedang, sampai sangat sulit. Ada orang yang mampu menyelesaikannya sendiri, ada juga yang membutuhkan bantuan orang lain. Bisa ke orang tua, saudara, atau teman. Selain mereka, juga bisa ke Psikolog lho untuk mendapat bantuan. “What?? Ke Psikolog?? Emangnya aku gila”, pasti banyak diantara anda yang berkomentar seperti itu. Pemahaman masyarakat hingga sekarang mayoritas masih seperti itu. Hal ini perlu diluruskan. Hallooo.. Psikolog tidak hanya menangani orang gila aja lho, yaa meskipun salah satunya betul menangani orang yang kehilangan kesadaran mentalnya. Namun, Psikolog bisa menangani masalah yang lebih luas lagi di berbagai aspek psikis. Mulai dari masalah emosi, pikiran (kognisi), perilaku, dan sosial. Apaan tuh? Kalau disebutin semua, gak akan cukup dijelasin disini. Contohnya aja ya.. gangguan emosi seperti stress, phobia, depresi. Gangguan pikiran atau proses berpikir contohnya retardasi mental, kesulitan belajar. Gangguan perilaku contohnya hiperaktif, impulsif, gangguan motorik kasar. Gangguan sosial contohnya cemas, antisosial, sulit beradaptasi. Penanganan yang dilakukan Psikolog akan tergantung pada jenis masalah pada tiap orang. Bisa saja 2 orang memiliki masalah yang sama, namun pasti dalam masalah itu ada perbedaan pada keduanya, dan penanganannya pun akan berbeda disesuaikan keadaan tiap orang. Psikolog juga sebagai second opinion disaat anda membutuhkan masukan atau pendapat orang lain. |
Archives
December 2015
Categories |