Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog Kejadian yang biasanya terjadi pada orang tua dan anak yaitu terjadi drama. Seorang ibu mengatakan, “Saya sudah diberitahu bahwa tidak boleh memukul atau berteriak, tapi selanjutnya saya tidak tahu apa yang harus dilakukan selain memberi ancaman konsekuensi dan memberinya time-out.” Atau situasi antara suami istri kurang kompak, biasanya yang terjadi adalah ketidak konsistenan. Istrinya mengeluh bahwa suaminya terlalu keras dan kaku, sedangkan dirinya tidak. Seorang ayah juga mengatakan, “Saya sudah muak dengan pertarungan PR ini. Kami selalu bertengkar dan tidak ada sesuatu yang berubah.”
Apakah anda semua juga mengalami seperti contoh-contoh tadi? Dalam kenyataan, anda adalah manusia dan sedang menjadi orang tua dari anak-anak anda. Memang sulit sekali dalam proses mendisiplinkan anak. Situasi yang sering terjadi adalah anak-anak melakukan atau menunjukkan perilaku yang seharusnya tidak dilakukan. Kita sebagai orang tua marah dan anak akan “ngambek”, keluarlah banjir air mata. Inilah contoh dari drama disiplin. Drama sekali bukan? Seperti menonton sinetron di televisi. Melelahkan, menyebalkan. Kejadian dalam drama: berteriak, merasa bersalah, perasaan sakit, pusing, dan lainnya. Apakah anda pernah bertanya pada diri sendiri, terutama setelah kejadian semua drama itu terjadi. “Bisa gak ya aku bertindak lebih baik dari ini? Bisa gak ya aku mengatasi anakku dengan lebih baik dan menjadi orang tua yang lebih efektif? Apa bisa aku menerapkan disiplin dengan situasi yang tenang dan nyaman serta tidak harus menimbulkan kekacauan?” Jawabannya adalah... “Anda BISA!!!”. Anda sangat bisa menerapkan disiplin dengan penuh penghargaan dan pola asuh yang baik dengan tetap ada batasan dan dilakukan dengan konsisten. Dengan kata lain, anda bisa menerapkan disiplin tanpa adanya drama seperti contoh tadi dan tanpa konflik. Anda juga bisa sambil mengembangkan kemampuan-kemampuan anak dalam membangun hubungan yang baik dengan orang lain, bisa membuat keputusan, memikirkan keadaan orang lain atau menghormati orang lain, dan yang jelas akan berdampak panjang di kehidupannya nanti. Apakah disiplin itu? Sekarang ini kita mengenal kata disiplin dari bahasa inggris discipline yang artinya mengajarkan. Awal abad ke 11, kata discipline ini berasal dari bahasa latin disciple yang artinya murid, siswa, pelajar, lalu berkembang menjadi kata disciplina artinya mengajarkan, belajar, dan memberi instruksi. Kemudian berkembanglah dalam bahasa inggris. Disiplin itu artinya mengajarkan. Mendisiplinkan anak berarti mengajari anak. Lalu apakah itu disiplin yang positif? Disiplin yang positif adalah cara mengasuh anak yang menekankan:
Tujuan disiplin bisa dibagi menjadi 2 yaitu tujuan disiplin jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan disiplin jangka pendek meliputi perilaku-perilaku yang ingin dicapai SEKARANG, misalnya kita sebagai ibu ingin anak menggosok gigi sebelum tidur, membereskan mainan sesudah bermain, dan sebagainya. Kalau bahasanya ibu-ibu itu mendeskripsikan tujuan jangka pendek ini misalnya pengen anaknya “nurut”, “kalau disuruh langsung ngerjain”. Tujuan disiplin 1 lagi yaitu tujuan disiplin jangka panjang yang merupakan PROSES, namanya proses jadi jauh lebih bertahap, membutuhkan waktu bertahun-tahun. Contoh tujuan jangka panjang adalah hal-hal seperti kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan lainnya. Bahkan saat figure otoritas (orang tua sedang tidak berada di sekitarnya. Inti dari disiplin yang positif adalah tentang keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan panjang. Mengasuh seorang anak merupakan tugas yang berat bagi orang tua manapun. Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan mudah seperti mandi, menggosok gigi, makan, tidur, dan sebagainya, saat dilakukan dengan anak dapat menjadi sulit, bahkan bisa menjadi medan perang bagi orang tua dan anak. Apabila orang tua terlalu terfokus pada tujuan disiplin jangka pendek. Tujuan jangka pendek contohnya, membuat anak cepat menyelesaikan makannya, mandi, membuat PR, dan lainnya. Hal ini dapat dimengerti, karena apabila ada suatu tugas yang harus segera diselesaikan, atau apabila orang tua terburu-buru, orang tua dapat menjadi frustrasi apabila anak tidak kooperatif. Pada saat itu, orang tua dapat menjadi emosional, dan bereaksi dengan cara-cara seperti memukul, mengancam, memarahi, mengambil barang kesukaan anak, mengurung anak, dan hukuman lainnya, apabila orang tua terfokus untuk mendapatkan reaksi yang mereka inginkan. Apabila tujuan jangka pendek sudah tercapai, misalnya anak menurut untuk melakukan sesuatu, namun melalui pukulan atau hukuman lainnya, apa yang anak pelajari? Apakah membentak memberikan contoh yang baik tentang bagaimana caranya memperlakukan orang lain? Apabila orang tua memukul, apakah orang tua mengajarkan problem – solving skills yang positif? Apakah orang tua sudah mencontohkan cara mengatasi stress dan kemarahan secara positif? Frustrasi yang dialami orang tua seringkali tidak bisa dihindarkan. Namun orang tua harus menemukan cara untuk mencapai tujuan jangka pendek mereka tanpa mengkompromikan tujuan jangka panjangnya. Referensi: Faber, Adele & Mazlish, Elaine. 1982. How to talk so kids will listen and listen so kids will talk. New York: Wade Publisher. Siegel, D. J. & Bryson, T. P. (2014). “No – Drama Discipline: The Whole – Brain Way to Calm the Chaos and Nurture your Child’s Developing Mind”. New York: Penguin Random House Company. https://www.savethechildren.org.au/__data/assets/pdf_file/0003/5457/PositiveDiscipline.pdf
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2015
Categories |