Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., PsikologPerubahan abad 21 yang mempengaruhi segala aspek kehidupan, maka diperlukan kemampuan dalam menghadapinya. Menurut ATC21S (Assessment and Teaching 21st Century Skill) yang terdiri dari 250 peneliti dari berbagai Negara, mengelompokkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh individu di abad 21 menjadi 4 kategori, yaitu: · Cara berpikir: kreativitas, berpikir kritis, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan pengambilan keputusan, dan belajar. · Cara kerja: adanya komunikasi dan kolaborasi. · Alat untuk bekerja: teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dan literasi informasi. · Keterampilan untuk hidup di dunia: kewarganegaraan, kehidupan dan karir, dan tanggung jawab pribadi serta sosial. Abad 21 mengisyaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis. Untuk mewujudkan kemampuan-kemampuan tersebut pada diri anak dan remaja, tidak lepas dari beberapa teori perkembangan yang mendasari pembentukan pribadi anak saat dewasa. Tahap perkembangan saat anak-anak sangat penting diperhatikan karena tahapan tersebut lah yang mendasari seluruh kemampuan lebih kompleks yang akan dimiliki anak nantinya. John J. Macionis (1996) mengemukakan ada lima cara dalam pembentukan perilaku yang mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu: 1. Teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939) 2. Teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980) - Tahap Sensorimotor - Tahap Praoperasional - Tahap Operasional Konkrit - Tahap Operasional Formal 3. Teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981) Tingkat 1 (Pra-Konvensional) 1) Orientasi kepatuhan dan hukuman 2) Orientasi minat pribadi (Apa untungnya buat saya?) Tingkat 2 (Konvensional) 3) Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik) 4) Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan) Tingkat 3 (Pasca-Konvensional) 5) Orientasi kontrak sosial 6) Prinsip etika universal (Principled conscience) 4. Teori Gender dari Carol Gilligan (1982) 5. Teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931) Saat ini di bidang pendidikan sedang digencarkan program pendidikan karakter. Pendidikan karakter juga mencakup kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap anak. Secara konseptual pendidikan karakter telah disusun dan dimulai untuk diterapkan di sekolah. Terdapat 18 nilai karakter yang perlu diimplementasi di sekolah, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Puskur. 2009). Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. Tinjauan karakter secara psikologis: merupakan perwujudan dari potensi Intelligency Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki seseorang. Penelitian dan telaah dampak pendidikan karakter pada prestasi akademik telah banyak dilakukan. Salah satu diantaranya dilakukan Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa ada peningkatan motivasi untuk meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang menerapkan pendidikan karakter secara komprehensif menunjukan adanya penurunan secara drastis perilaku negatif yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depannya. Dengan emosi yang cerdas, seseorang memiliki peluang besar berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan secara akademis. Hasil kompilasi penelitian Zins (2001) juga menunjukkan, bahwa ada pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dari sederetan faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah, ternyata kegagalan itu bukan terletak pada kecerdasan otak, melainkan pada faktor karakter, seperti rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi yang bermasalah. Hasil tersebut juga sejalan pendapat telaah Goleman, bahwa keberhasilan hidup seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak/remaja yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Sebaliknya, anak-anak dan remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi baik akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja, seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Dasar pendidikan karakter adalah keluarga. Namun, pendidikan karakter di sekolah juga sangat diperlukan. Sebab, secara faktual kebanyakan orang tua lebih mengutamakan kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Sebagaimana dinyatakan Goleman, bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun, ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Permasalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan karakter menjadi masalah yang mengemuka. Antisipasi yang harus dilakukan oleh lingkungan anak dan remaja dalam menghadapi perubahan yang terjadi Telah diuraikan perubahan-perubahan yang terjadi pada abad 21 dan kemampuan yang harus dimiliki oleh anak serta remaja dalam menghadapinya. Oleh karena itu, diperlukan beberapa antisipasi dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi individu dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan pada abad 21 adalah lingkungan terutama keluarga. Keluarga khususnya orang tua mempunyai peran penting dalam membentuk kepribadian anak nantinya. Hal ini bisa diantisipasi dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tua untuk anak-anak mereka. Maka diharapkan orang tua abad 21 adalah orang tua yang open minded, mau menerapkan pola asuh yang ideal (tidak menggunakan pola asuh dulu yang diterapkan orang tuanya pada dirinya, lalu diterapkan kepada anaknya) serta berwawasan luas dan melek teknologi. Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu: 1. Diri sendiri. Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon sosial. 2. Lingkungan 3. Situasi krisis dalam pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang dirasakan secara langsung, akan lebih dihayati oleh individu. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman. John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan sosialisasi adalah keluarga, sekolah, kelompok sebaya, media massa, dan opini publik. Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia. Referensi:
Feldman, Papalia Olds. 2009. Human Development Perkembangan Manusia. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta. Santosa, Elizabeth T. 2015. Raising Children In Digital Era. Penerbit Gramedia. Jakarta.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2015
Categories |