Oleh: Santi Novita Arieanti, M.Psi., Psikolog Sebelumnya kita mendiskusikan tentang definisi disiplin sebagai kegiatan mengajar, bukan menghukum. Jadi kalau mengajar harus selalu ingat tujuan mengajar itu sendiri, apa yang mau diajarkannya? Selalu seimbangkan tujuan disiplin jangka pendek dan jangka panjang. Sekarang kita masuk materi baru yaitu memahami bagaimana anak berpikir dan merasa. Mengapa harus memahami pikiran dan perasaan anak? Umpamanya kita pakai hp, kita harus mengerti cara bekerjanya hp itu. Jika pencet ini jadi begini, kalo pencet begitu jadi begitu. Sama dengan anak, kalau kita tidak mengerti bagaimana anak berpikir dan merasa, kita sulit mengajarkan sesuatu, karena kita tidah tahu harus pencet tombol yang mana. Jangan sampai asal-asalan. Jika “ngasal” tentu saja disiplinnya jadi tidak efektif. Kembali pada konsep disiplin yang diterapkan harus punya sense of direction and purpose, atau arah dan tujuan jangka panjang. Saya mulai dengan bagaimana anak berpikir. Sebenarnya bukan anak saja, namun kita semua berpikir menggunakan otak yang secara garis besar punya anatomi yang sama. Ini gambar otak kita. Bagian-bagian otak kita secara vertikal ada 3 bagian besar, yaitu bagian reptile, mammal, dan rational. Bagian reptile untuk mengatur survival atau bertahan hidup. Salah satu bagian dari survival adalah rasa takut, yang melindungi kita dari bahaya-bahaya. Bagian mamalia mengatur emosi seperti marah, takut, senang, sedih, cemas, jijik, dan emosi lainnya. Otak anak ibaratnya adalah rumah yang sedang dibangun. Saat membuat rumah, kita pasti membuatnya dari bawah, membuat pondasinya dulu, lanjut dinding, dan terakhir atas. Sama juga dengan otak anak, dia berkembang otak bawah yaitu otak reactive, dibangun ke atas yaitu otak atas atau otak receptive. Otak reactive adalah yang melindungi kita dari bahaya-bahaya. Bagian mamalia mengatur emosi seperti marah, takut, senang, sedih, cemas, jijik, kagum, dan lainnya. Sedangkan otak receptive otak yang mengatur kita berpikir, memutuskan suatu hal, menyelesaikan masalah, memahami orang lain. Disiplin yang positif adalah cara mengajarkan anak untuk mengembangkan otak rationalnya, melatih dia untuk berpikir. Tugas orang tua utamanya adalah mengembangkan otak rasional ini. Otak reactive juga perlu dikembangkan untuk meregulasi emosi, bagaimana anak bisa mengekspresikan emosinya dengan tepat dan sesuai dengan situasi. Keadaan otak anak:
- Mengontrol emosi yang tinggi dan mengekspresikan dengann cara yang tepat - Memahami hal-hal baru - Menjadi fleksibel dan beradaptasi - Berempati dan memahami orang lain - Menyusun rencana - Menyelesaikan masalah Ada 2 tombol di otak kita: 1. Tombol OTAK ATAS atau tombol OTAK RECEPTIVE Jika memencet tombol ini, orang tua mampu memahami pikiran dan perasaan anak, orang tua mampu mengendalikan emosi diri sendiri, dan mampu menyelesaikan masalah dengan anak secara baik-baik. 2. Tombol OTAK BAWAH DAN TENGAH atau tombol OTAK REACTIVE Jika memencet tombol ini, orang tua cenderung tampak kurang mampu memahami pikiran dan perasaan anak, mendahulukan emosi, dan berakhir membentak atau memarahi anak.
Cara disiplin yang positif membangun otak anak, yaitu: - Beri pertanyaan untuk memahami diri. Hasilnya anak menjadi lebih insightful. - Dorong anak berempati pada orang lain. Hasilnya anak menjadi lebih empathic. - Beri anak kesempatan untuk memutuskan bagaimana seharusnya berperilaku, daripada hanya memberi saran. Hasilnya anak menjadi decision maker yang baik. Hal utama yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan disiplin positif dan membangun otak anak adalah membangun KONEKSI. Koneksi itu apa sih? Contohnya seperti jaman sekarang, ada wifi? Password nya apa? Meskipun kita berada di area wifi, masih perlu password kan untuk terhubung? Sama dengan anak juga. Meskipun kita duduk di sebelah dia, belum tentu kita terhubung atau terkoneksi dengan dia. Sebenarnya perlu usaha dari kita untuk konek, ya itu pencet passwordnya. Passwordnya apa sih? Komunikasi 2 arah, contoh sikap komunikasi 2 arah, yaitu: - Same level / ortu lebih rendah - Tidak pointing - Tidak berkacak pinggang - Tidak melotot - Tidak teriak2 / nada suara tinggi - Ekspresi wajah tenang Referensi: Faber, Adele & Mazlish, Elaine. 1982. How to talk so kids will listen and listen so kids will talk. New York: Wade Publisher. Siegel, D. J. & Bryson, T. P. (2014). “No – Drama Discipline: The Whole – Brain Way to Calm the Chaos and Nurture your Child’s Developing Mind”. New York: Penguin Random House Company. https://www.savethechildren.org.au/__data/assets/pdf_file/0003/5457/PositiveDiscipline.pdf
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2015
Categories |